Oleh : Jauharil U.
Berbicara mengenai
pertanahan menurut fiqih dan perundang-undangan, pemakalah telah menentukan
obyek kajian kita pada kesempatan kali ini adalah mengenai wakaf, karena tanpa
mengubah judul, fiqih dan perundang-undangan sama-sama membahas tentang wakaf.
A.
Wakaf menurut fiqih
1.
Dasar Hukum
Hadis yang diriwayatkan oleh Lima Ahli
hadis dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Umar memperoleh bidang tanah di
Khaibar. Beliau menghadap Nabi dan bertanya: “ Aku telah memperoleh sebidang
tanah di Khaibar yang belum pernah kuperloleh sebaik itu, lalu apa yang akan
Engkau perintahkan kepadaku?” Rasullulah bersabda : ” Jika suka, engkau
tahanlah ‘pokoknya’ dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf )”.
Kata Ibnu Umar : “lalu Umar menyedahkanya, tidak dijual ‘pokoknya’, tidak
diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain”, dan seterusnya.
2.
Definisi wakaf menurut para Imam
Mazhab :
- Menurut Imam Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakannya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut, pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah menyumbangkan manfaat
- Menurut Imam Malik, bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikan atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Wakaf dilaksanakan dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk masa tertentu, sehingga bila masanya telah habis maka akan kembali lagi pada pemiliknya.
- Menurut Imam Syafi'I dan Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosudur perwakafan[1].
3. Harta
Benda Wakaf :
Menurut mazhab Hanafi dan
mazhab Syafi'I bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal
manfaatnya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Sedang mazhab Maliki juga
memperbolehkan wakaf barang yang bergerak, bedanya mazhab ini tidak
mensyaratkan ta'bid (harus selama-lamanya), bahkan menurut mazhab ini
wakaf itu sah meskipun sementara.
Tapi para imam mazhab
sepakat bahwa barang yang dimakan dan
barang yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali hanya dengan dihabiskan
'ainnya seperti emas dan perak tidak sah diwakafkan[2].
4.
Pemilikan Benda Wakaf
Terdapat berbagai
pendapat di kalangan para ulama mazhab. Maliki berpendapat bahwa, esensi
pemilikan atas barang tersebut tetap berada di tangan pemiliknya semula, tetapi
sekarang dia tidak diperbolehkan menggunakannya lagi. Hanafi mengatakan :
barang yang diwakafkan itu sudah tidak ada pemiliknya lagi, dan pendapat ini
juga pendapat paling kuat di kalangan Syafi'i. Sedangkan Hambali mengatakan :
bahwa barang tersebut berpindah ke tangan pihak yang diwakafi. Begitu juga
pendapat yang paling masyhur di kalangan Imamiyah bahwa pemilikan barang yang
telah sempurna diwakafkan hilang dari orang yang mewakafkan.
5. Macam-Macam Wakaf
1). Ditinjau dari peruntukannya, maka lembaga wakaf dalam
doktrin Hukum Islam, dikenal adanya dua macam (bentuk) wakaf yang dikenal
dengan istilah wakaf ahli dan wakaf khairi.
a. Wakaf Ahli
Wakaf ahli biasa dikatakan oleh
masyarakat dengan istilah wakaf khusus atau wakaf keluarga. Dikatakan dengan
demikian karena wakaf itu sendiri ditunjuk khusus untuk orang-orang tertentu,
sendirian, ataupun banyak, baik dari keluarga wakif ataupun bukan. Wakaf ahli
di dalam prakteknya mirip dengan lembaga adat yang berbentuk pusaka. Hanya
bedanya, kalau wakaf ahli pemberianya tidak terikat harus ditunjukan hanya
untuk keluarga Wakif atau keturunannya, melainkan dapat diberikan kepada siapa
saja sesuai dengan keinginan si
Wakif, baik kepada orang-orang yang
masih terkait hubungan kekeluargaan dengan si Wakif ataupun tidak.
b. Wakaf Khairi
Praktek wakaf ini dalam kehidupan
masyarakat kita dikenal dengan istilah wakaf sosial, karena wakaf semacam ini
diberikan oleh si Wakif agar manfaatnya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat
secara umum, tidak boleh orang-orang tertentu saja.
2). Wakaf ditinjau dari segi pelaksanaanya di dalam Hukum
Islam dikenal juga adanya wakaf syuyu’ dan wakaf muallaq.
a. Wakaf Syuyu’
Adalah wakaf yang dalam pelaksanaannya
dilakukan secara gotong royong, dalam arti beberapa orang berkelompok
(bergabung) menjadi satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta benda) secara
patungan atau berserikat.
b. Wakaf Mu’allaq
Adalah suatu wakaf yang dalam
pelaksanaanya digantungkan, atau oleh si Wakif dalam ikrarnya menangguhkan
pelaksanaanya sampai dengan ia meninggal dunia. Dalam arti wakaf itu baru
berlaku, setelah ia sendiri meninggal.
6.
Perubahan
status Tanah Wakaf
Para
Imam Mazhab selain Hambali sepakat tentang ketidakbolehan menjual masjid dalam
bentuk apapun, dan dalam kondisi serta factor apapun, bahkan seandainya masjid
itu rusak. Atau orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya telah pindah
ke tempat lain, yang secara pasti diketahui bahwa tidaka akan ada lagi orang
yang sholat di masjid tersebut. Dalam kondisi seperti itupun, masjid tidak
boleh diganti atau dijual.
Tapi golongan yang tidak memperbolehkan
menjual masjid yang rusak, membolehkan menjual barang-barang yang menyertai
masjid.
B. Wakaf menurut KHI dan Undang -Undang
Dasar Hukum
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Pasal 49
ayat (1) memberi isyarat bahwa “ Perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah”..
- Undang-undang No. 41 tahun 2004
tentang Wakaf.
- Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.
Definisi Wakaf
Dalam pasal 1 ayat (1), Undang-undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf ditentukan wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
Dalam pelaksanaannya, wakaf harus memenuhi unsur-unsur
wakaf. Dalam Pasal 6 UU No.41 Tahun 2004 dikatakan, unsur wakaf :
a. Wakif
b. Nazhir
c. Harta Benda Wakaf
d. Ikrar Wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Dalam ayat (2) disebutkan, Wakif adalah pihak yang
mewakafkan harta benda miliknya.
Wakif meliputi: perseorangan, organisasi dan badan
hukum (pasal 7)
Selanjutnya, dalam pasal 8 diatur dengan kriteria
Wakif. Pasal 8 ayat (1) menjelaskan,
Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila
memenuhi persyaratan:
a. dewasa
b. berakal sehat
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
dan
d. pemilik sah harta benda wakaf
Sedangkan Wakif yang merupakan organisasi, dalam pasal
8 ayat (2), hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi
untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran
dasar organisasi yang bersangkutan.
Pasal 8 ayat (3) disebutkan, Wakif badan hukum hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum
yang bersangkutan.
Sedangkan pihak yang menerima wakaf, sesuai dengan ayat
(3) disebut dengan Nazhir.
Kemudian, Nazhir inilah yang akan mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya. Nazhir meliputi,
perseorangan, organisasi dan badan hukum.
Pasal 10 UU No.41 Tahun 2004 ayat (1) lebih lanjut
menjelaskan, Nazhir perseorangan hanya dapat menjadi Nazhir jika memenuhi
persyaratan:
a. warga Negara Indonesia
b. beragama Islam
c. dewasa
d. amanah
e. mampu secara jasmani dan rohani
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 219
huruf f ditambahkan, Nazhir harus bertempat tinggal di kecamatan tempat letak
benda yang diwakafkan.
Masih menurut KHI pasal 219 dalam ayat (3) disebutkan,
Nazhir harus didaftarkkan pada Kantor Urusan Agama kecamatan setempat. Nazhir
juga harus disumpah di hadapan KUA kecamatan dan harus disaksikan
sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi.
Nazhir dalam pelaksanaan wakaf ini mempunyai tugas
sebagaimana diatur dalam pasal 11:
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi
dan peruntukkannya
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia .
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir, maka Nazhir
dapat menerima imbalan dari harta bersih atas pengelolaan dan pengembngan harta
benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen, demikian disebutkan dalam
Pasal 12.
Sedangkan menurut KHI, Nadzir berhak mendapatkan
penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan
kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat (Pasal 222).
Harta Benda Wakaf
Adapun harta benda
wakaf meliputi:
a. benda tidak bergerak
b. benda bergerak
Lebih lanjut
dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2): benda yang tidak bergerak:
a.
hak atas tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang
belum terdaftar.
b.
bangunan atau bagian bangunan yang
berdiri di atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada huruf a
c.
tanaman dan benda lain yang
berkaitan dengan tanah
d.
hak milik atas satuan rumah susun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
e.
benda tidak bergerak lain sesuai
dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:
■
sarana dan kegiatan ibadah
■
sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
■
bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu dan beasiswa
■
kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
■
kemajuan kesejahteraan umum ainnya yang tidak bertetangan dengan
Syari'ah dan peraturan
peundang-undangan.
Perubahan Status, Peruntukan dan Penggunaan Tanah Wakaf
Status dan kedudukan tanah wakaf
mempunyai kedudukan yang khusus, tanah yang telah diwakafkan terisolir dari
kegiatan transaksi pengalihan hak atas tanah seperti jual beli, hibah, waris,
ditukar, ijadiakn jaminan, disita dan dialihkan dalam bentuk pengalihan hak
lainya.
Dengan kata lain pada prinsipnya
terhadap tanah wakaf tidak dapat dilakukan perubahan tanah wakaf baik terhadap
perubahan status, peruntukan, ataupun penggunaan selain dari pada apa yang
dimaksud dalam ikrar wakaf. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu dapat berubah,
yakni :
- Keadaan tanahnya tidak sesuai lagi
dengan tujuan wakaf sebagaimana yang telah diikrarkan oleh wakif;
- Kepentingan umum menghendakinya.
Perubahan dimaksud dikarenakan adannya
perubahan kondisi tanah atau lingkungannya, atau bisa dikarenakan adannya
perubahan atasnya, baik perubahan status, peruntukan, ataupun penggunaannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syariah. Pelaksanan perubahan status, peruntukan, ataupun
penggunaannya hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari
Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia . Harta benda wakaf yang
telah diubah statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai
tukar yang sekurangkurangnya sama dengan harta benda wakaf sebelumnya.
Daftar Pustaka :
- Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia – Dirjen Bimas Islam Depag RI
- Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
- Peraturan
pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaanya
- PENDAFTARAN TANAH WAKAF MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN TEGAL
- الوزير
أبو المظفر يحيى بن محمد بن هبيرة الشيباني - اختلاف الأئمة العلماء