Minggu, 04 Desember 2011

PERTANAHAN MENURUT FIQIH DAN PERUNDANG-UNDANGAN


Oleh : Jauharil U.

Berbicara mengenai pertanahan menurut fiqih dan perundang-undangan, pemakalah telah menentukan obyek kajian kita pada kesempatan kali ini adalah mengenai wakaf, karena tanpa mengubah judul, fiqih dan perundang-undangan sama-sama membahas tentang wakaf.

A.    Wakaf menurut fiqih
1.      Dasar Hukum
Hadis yang diriwayatkan oleh Lima Ahli hadis dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Umar memperoleh bidang tanah di Khaibar. Beliau menghadap Nabi dan bertanya: “ Aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperloleh sebaik itu, lalu apa yang akan Engkau perintahkan kepadaku?” Rasullulah bersabda : ” Jika suka, engkau tahanlah ‘pokoknya’ dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf )”. Kata Ibnu Umar : “lalu Umar menyedahkanya, tidak dijual ‘pokoknya’, tidak diwarisi dan tidak pula diberikan kepada orang lain”, dan seterusnya.

2.      Definisi wakaf menurut para Imam Mazhab :
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakannya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut, pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah menyumbangkan manfaat
  2. Menurut Imam Malik, bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikan atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Wakaf dilaksanakan dengan mengucapkan lafaz wakaf untuk masa tertentu, sehingga bila masanya telah habis maka akan kembali lagi pada pemiliknya.
  3. Menurut Imam Syafi'I dan Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosudur perwakafan[1].

3.  Harta Benda Wakaf :
Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Syafi'I bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Sedang mazhab Maliki juga memperbolehkan wakaf barang yang bergerak, bedanya mazhab ini tidak mensyaratkan ta'bid (harus selama-lamanya), bahkan menurut mazhab ini wakaf itu sah meskipun sementara.
Tapi para imam mazhab sepakat bahwa barang yang dimakan dan  barang yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali hanya dengan dihabiskan 'ainnya seperti emas dan perak tidak sah diwakafkan[2].
4.  Pemilikan Benda Wakaf
Terdapat berbagai pendapat di kalangan para ulama mazhab. Maliki berpendapat bahwa, esensi pemilikan atas barang tersebut tetap berada di tangan pemiliknya semula, tetapi sekarang dia tidak diperbolehkan menggunakannya lagi. Hanafi mengatakan : barang yang diwakafkan itu sudah tidak ada pemiliknya lagi, dan pendapat ini juga pendapat paling kuat di kalangan Syafi'i. Sedangkan Hambali mengatakan : bahwa barang tersebut berpindah ke tangan pihak yang diwakafi. Begitu juga pendapat yang paling masyhur di kalangan Imamiyah bahwa pemilikan barang yang telah sempurna diwakafkan hilang dari orang yang mewakafkan.

5.  Macam-Macam Wakaf
1). Ditinjau dari peruntukannya, maka lembaga wakaf dalam doktrin Hukum Islam, dikenal adanya dua macam (bentuk) wakaf yang dikenal dengan istilah wakaf ahli dan wakaf khairi.

a. Wakaf Ahli
Wakaf ahli biasa dikatakan oleh masyarakat dengan istilah wakaf khusus atau wakaf keluarga. Dikatakan dengan demikian karena wakaf itu sendiri ditunjuk khusus untuk orang-orang tertentu, sendirian, ataupun banyak, baik dari keluarga wakif ataupun bukan. Wakaf ahli di dalam prakteknya mirip dengan lembaga adat yang berbentuk pusaka. Hanya bedanya, kalau wakaf ahli pemberianya tidak terikat harus ditunjukan hanya untuk keluarga Wakif atau keturunannya, melainkan dapat diberikan kepada siapa saja sesuai dengan keinginan si
Wakif, baik kepada orang-orang yang masih terkait hubungan kekeluargaan dengan si Wakif ataupun tidak.

b. Wakaf Khairi
Praktek wakaf ini dalam kehidupan masyarakat kita dikenal dengan istilah wakaf sosial, karena wakaf semacam ini diberikan oleh si Wakif agar manfaatnya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat secara umum, tidak boleh orang-orang tertentu saja.

2). Wakaf ditinjau dari segi pelaksanaanya di dalam Hukum Islam dikenal juga adanya wakaf syuyu’ dan wakaf muallaq.

a. Wakaf Syuyu’
Adalah wakaf yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara gotong royong, dalam arti beberapa orang berkelompok (bergabung) menjadi satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta benda) secara patungan atau berserikat.

b. Wakaf Mu’allaq
Adalah suatu wakaf yang dalam pelaksanaanya digantungkan, atau oleh si Wakif dalam ikrarnya menangguhkan pelaksanaanya sampai dengan ia meninggal dunia. Dalam arti wakaf itu baru berlaku, setelah ia sendiri meninggal.

6.      Perubahan status Tanah Wakaf
            Para Imam Mazhab selain Hambali sepakat tentang ketidakbolehan menjual masjid dalam bentuk apapun, dan dalam kondisi serta factor apapun, bahkan seandainya masjid itu rusak. Atau orang-orang yang bertempat tinggal di sekitarnya telah pindah ke tempat lain, yang secara pasti diketahui bahwa tidaka akan ada lagi orang yang sholat di masjid tersebut. Dalam kondisi seperti itupun, masjid tidak boleh diganti atau dijual.
Tapi golongan yang tidak memperbolehkan menjual masjid yang rusak, membolehkan menjual barang-barang yang menyertai masjid.

B. Wakaf menurut KHI dan Undang -Undang

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) memberi isyarat bahwa “ Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”..
  2. Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.

Definisi Wakaf
Dalam pasal 1 ayat (1), Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ditentukan wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dalam pelaksanaannya, wakaf harus memenuhi unsur-unsur wakaf. Dalam Pasal 6 UU No.41 Tahun 2004 dikatakan, unsur wakaf :
a. Wakif
b. Nazhir
c. Harta Benda Wakaf
d. Ikrar Wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Dalam ayat (2) disebutkan, Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
Wakif meliputi: perseorangan, organisasi dan badan hukum (pasal 7)
Selanjutnya, dalam pasal 8 diatur dengan kriteria Wakif. Pasal 8 ayat (1) menjelaskan,
Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a. dewasa
b. berakal sehat
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan
d. pemilik sah harta benda wakaf
Sedangkan Wakif yang merupakan organisasi, dalam pasal 8 ayat (2), hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
Pasal 8 ayat (3) disebutkan, Wakif badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Sedangkan pihak yang menerima wakaf, sesuai dengan ayat (3) disebut dengan Nazhir.
Kemudian, Nazhir inilah yang akan mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya. Nazhir meliputi, perseorangan, organisasi dan badan hukum.
Pasal 10 UU No.41 Tahun 2004 ayat (1) lebih lanjut menjelaskan, Nazhir perseorangan hanya dapat menjadi Nazhir jika memenuhi persyaratan:
a. warga Negara Indonesia
b. beragama Islam
c. dewasa
d. amanah
e. mampu secara jasmani dan rohani
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 219 huruf f ditambahkan, Nazhir harus bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
Masih menurut KHI pasal 219 dalam ayat (3) disebutkan, Nazhir harus didaftarkkan pada Kantor Urusan Agama kecamatan setempat. Nazhir juga harus disumpah di hadapan KUA kecamatan dan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi.
Nazhir dalam pelaksanaan wakaf ini mempunyai tugas sebagaimana diatur dalam pasal 11:
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi
dan peruntukkannya
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir, maka Nazhir dapat menerima imbalan dari harta bersih atas pengelolaan dan pengembngan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen, demikian disebutkan dalam Pasal 12.
Sedangkan menurut KHI, Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat (Pasal 222).

Harta Benda Wakaf
Adapun harta benda wakaf meliputi:
a. benda tidak bergerak
b. benda bergerak
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2): benda yang tidak bergerak:
a.       hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b.      bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada huruf a
c.       tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
d.      hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
e.       benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan dan Fungsi Wakaf
Sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:
sarana dan kegiatan ibadah
sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu dan beasiswa
kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
kemajuan kesejahteraan umum ainnya yang tidak bertetangan dengan Syari'ah dan   peraturan peundang-undangan.

Perubahan Status, Peruntukan dan Penggunaan Tanah Wakaf
Status dan kedudukan tanah wakaf mempunyai kedudukan yang khusus, tanah yang telah diwakafkan terisolir dari kegiatan transaksi pengalihan hak atas tanah seperti jual beli, hibah, waris, ditukar, ijadiakn jaminan, disita dan dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainya.
Dengan kata lain pada prinsipnya terhadap tanah wakaf tidak dapat dilakukan perubahan tanah wakaf baik terhadap perubahan status, peruntukan, ataupun penggunaan selain dari pada apa yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu dapat berubah, yakni :
  • Keadaan tanahnya tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf sebagaimana yang telah diikrarkan oleh wakif;
  • Kepentingan umum menghendakinya.
Perubahan dimaksud dikarenakan adannya perubahan kondisi tanah atau lingkungannya, atau bisa dikarenakan adannya perubahan atasnya, baik perubahan status, peruntukan, ataupun penggunaannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. Pelaksanan perubahan status, peruntukan, ataupun penggunaannya hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang telah diubah statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar yang sekurangkurangnya sama dengan harta benda wakaf sebelumnya.






Daftar Pustaka :

  • Paradigma Baru Wakaf di Indonesia – Dirjen Bimas Islam Depag RI
  • Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
  • Peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaanya
  • PENDAFTARAN TANAH WAKAF MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN TEGAL
  • الوزير أبو المظفر يحيى بن محمد بن هبيرة الشيباني - اختلاف الأئمة العلماء



[1] Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Dirjen Bimas Islam.
[2] Hal ini sebagaimana saya kutip dari Kitab Ikhtilaful Ulama halaman 46/2 :
واتفقوا على أن كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا بإتلافه كالذهب والفضة و المأكول لا يصح وقفه . (Kasus inilah yang kemudian kita kenal sebagai wakaf tunai).