Minggu, 04 Desember 2011

"Kos-kosan Sumber Inspirasi Mahasiswa"

Ini adalah saat anak-anak "Kampret Federation" tengah menyelenggarakan acara bakar ayam yang berlokasi di kos-kosan belakang Masjid Fathullah UIN Jakarta. 

Dari kiri ke kanan: Bijay, Agus, Fandy "Punk", Akaman, Bang Dedy (empunya kosan). 

Lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi tentu berbeda dengan lembaga pendidikan di bawahnya. Jika pelajar SMP hingga SMA biasanya pulang pergi dari rumah atau tinggal di pesantren, maka menjadi mahasiswa memiliki banyak pilihan apakah pulang pergi dari rumah atau menyewa kos, atau bisa juga tetap menjadi santri mahasiswa di lembaga perguruan tinggi tertentu. Namun dari berbagai opsi tersebut, tampaknya “ngekos” adalah opsi yang sebagian besar dipilih oleh mahasiswa pada umumnya karena macam-macam alasan tentunya.

Pilihan ngekos , pulang pergi dari rumah, atau tinggal di pesantren tidak hanya merupakan pilihan tempat tinggal tetapi juga menentukan lingkungan yang akan mempengaruhinya dan mungkin – karena adaptasi yang terpaksa atau pun suka rela – akan menentukan bagaimana dia bergaul.

Ciputat adalah lingkungan mahasiswa yang padat dengan kos-kosan. Saya sendiri ngekos dengan teman-teman mahasiswa lain yang berasal dari berbagai daerah, Jakarta, Jawa, hingga luar pulau Jawa. Sebagian besar mahasiswa teman-temanku itu adalah alumni pesantren. Mereka adalah orang-orang yang cukup tahu dan kenyang dengan aturan pesantren yang ketat dan disiplin. Tapi rupanya kehidupan kos-kosan mahasiswa – dimana saja, tidak hanya di Ciputat ini – menawarkan banyak hal-hal baru dan berbeda dari kehidupan pesantren atau rumah yang suasananya masih dalam pengawasan orang tua dan keluarga. Mereka yang sebelumnya seperti disangkar, sekarang merasa seperti burung dengan sayap lebar bebas terbang kemana pun. Inilah gambaran singkat perasaan mereka yang kini hidup di kos-kosan.

Mungkin ada juga sebagian mahasiswa yang tahan godaan, mampu mempertahankan pola hidupnya sebagaimana ia di pesantren dulu, tapi sepertinya saya sendiri belum mendapati orang seperti itu, kalau pun ada setahu saya belum ada yang konsisten hingga tahun kedua. Godaan kebebasan dan pergaulan memang sangat besar dan sulit dihindari.

“Kos-kosan mahasiswa” , kira-kira apa yang terlintas di pikiran anda jika mendengar kata-kata tersebut? Bagi kita yang pernah tinggal di lingkungan kos-kosan, kita pasti sepakat banyak hal seru yang bisa dilakukan di kos-kosan baik positif maupun negatif. Belajar kelompok, makan bareng, begadang, ngegosip, bahkan sampai “indehoy” di kos adalah aktifitas-aktifitas yang semuanya pernah terjadi di kos-kosan. Kegiatan apa saja baik positif maupun negatif menjadi lebih leluasa dilakukan di kos-kosan karena tidak ada orang tua atau keluarga yang mengawasi.

Hal inilah yang kerap merubah sebagian besar pola hidup dan mungkin cara pandang banyak mahasiswa yang dulunya alumni pesantren.

Kondisi yang “longgar” ini memungkinkan banyak aktifitas-aktifitas di kos-kosan yang tadinya biasa-biasa saja menjadi lebih “ekstrem”. Misalnya, yang  kencannya siang doang, lama-lama jadi pengen kencan  malam-malam, yang tadinya hanya 1-2 jam, lama-lama jadi nginep di kosan pacar (kalau yang ini udah parah nih). Yang tadinya nongkrong main gitar bareng, lama-lama jadi band. Yang tadinya diskusi kuliah, lama-lama diskusi yang macam-macam, akhirnya berfikir macam-macam juga , ada yang berfikiran liberal, moderat, bahkan sampai ada yang sesat. Tapi diskusi-diskusi inilah yang akhirnya melahirkan intelektual-intelektual muda UIN Jakarta, organisasi dan forum-forum mahasiswa berawal dari obrolan ringan di kos dan pojok-pojok jalan dekat warteg samping kosan. Memang tergantung bagaimana mahasiswa membawa diri dan memanage aktifitas-aktifitas tersebut menjadi hal yang lebih positif atau sebaliknya.

Namun , terlepas dari baik-buruknya pengaruh lingkungan kos-kosan mahasiswa, di lingkungan ini mahasiswa menjadi lebih leluasa berekspresi dibanding di rumah atau di pesantren. Lingkungan ini menjadi umber inspirasi bagi mahasiswa yang sedang menuntut ilmu, karena di lingkungan ini mahasiswa menemukan bermacam-macam orang dengan pikiran dan budaya berbeda untuk diajak berdiskusi.

Sebagai mahasiswa kita berharap semoga kita mampu menjadikan kos-kosan kita menjadi ladang pengalaman dan inspirasi yang baik bagi kita.

“Ilmu tidak hanya dengan membaca buku, tapi juga dengan memahami keadaan dan lingkungan sekitar kita”.