Minggu, 04 Desember 2011

Ironi Sarjana Muda


Wisuda ke-84 UIN Jakart

Beberapa bulan yang lalu tepatnya tanggal 23 Juli 2011, saya resmi diwisuda menjadi sarjana hukum Islam (SHI) UIN Jakarta, kampus kesayangan tempat saya menuntut ilmu selama 8 semester. Hari itu menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh semua mahasiswa, hari yang begitu bahagia, dirayakan oleh keluarga-famili maupun teman-teman lain yang belum diwisuda. Ada yang didampingi pacar, ataupun didampingi keluarga besar bahkan tetangga layaknya hajat kawinan. Tapi ada juga yang didampingi beberapa orang saja,  saya sendiri hanya didampingi kakak dan oak saja, memang sedih karena kedua orang tua saya berhalangan hadir pada hari bahagia itu, ini karena bapak baru sembuh dari sakit dan ibu sedang ada tugas penting menunggu di rumah. Tapi tak mengapa, itu tak mengubah rasa bahagia bahwa kini  saya menjadi sarjana.

Memang bahagia, tapi setelah itu saya dan mungkin semua teman-teman yang sudah diwisuda akan terganjal oleh satu pertanyaan, "Ngapain ya habis ini?". Iya, pertanyaan itu memang sudah diwanti-iwanti oleh senior-senior yang sudah diwisuda duluan. Katanya, "Untuk bisa sampai menjadi sarjana itu memang bikin pusing, tapi lebih pusing lagi setelah menjadi sarjana". Tampaknya sekarang banyak sarjana muda sedang mengalami fase ini. Pusing karena titel sudah punya tapi belum ada pekerjaan (kecuali yang niat mau kuliah lagi). Kadang malu sama tetangga yang bertanya, "Sarjana, sekarang kerja dimana?"- sementara kita hanya menjawab dengan terus terang sambil tersenyum malu. Tapi ada juga yang bohong macam-macam, biar tidak malu-maluin.

Ironis, tapi itulah terjadi. Pekerjaan menjadi semakin sulit didapat. Mungkin karena sarjana sudah terlalu banyak, sehingga hanya sebagian kecil saja yang beruntung langsung mendapat pekerjaan. Atau karena standar yang semakin tinggi disyaratkan oleh lembaga atau perusahaan penerima kerja. Contohnya bahwa syarat pelamar adalah harus orang yang sudah punya pengalaman kerja sekian tahun pada posisi tersebut. Ini menjadi sulit karena kebanyakan sarjana adalah fresh graduate yang belum berpengalaman.

Di sisi lain memang instansi atau perusahaan-perusahaan tidak mau mengambil resiko merekrut pegawai baru yang belum berpengalaman. Tapi kalau semua tempat kerja menyaratkan hal tersebut, tentu tidak ada sarjana yang kemudian menjadi berpengalaman jika tidak diberikan kesempatan kerja terlebih dahulu.

Ini adalah potret kisah tragis  para sarjana. Sarjana-sarjana muda Indonesia banyak yang nganggur. Ada banyak ketidakpercayaan dunia kerja pada dunia pendidikan yang akhirnya menyulitkan masyarakat dan bangsa ini sendiri. Tentu ada penyebabnya. Bisa jadi karena ketidakmampuan lembaga pendidikan memahami apa yang dibutuhkan dalam dunia kerja, atau standar berbeda yang diterapkan oleh dunia kerja dan pendidikan. Misalnya terjadi dimana orang yang mumpuni atau berprestasi di kampus atau di sekolah ternyata biasa-biasa saja di tempat kerja, bahkan jauh dari harapan kompetensi pada bidang tersebut.

Bisa juga karena banyaknya orang yang memakai ijazah atau nilai akademik palsu yang dibeli dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga ketika kepercayaan itu diberikan oleh instansi atau perusahaan, orang tersebut tidak bisa menjalankan pekerjaan dengan baik karena memang ia tidak punya kompetensi yang bagus dalam bidang tersebut. Sehingga penyerap tenaga kerja memandang sama semua sarjana bahwa mereka belum tentu memiliki kompetensi sesuai dengan ijazah atau nilai akademik mereka, padahal orang yang benar-benar punya prestasi tentu berkompetensi bagus dalam pekerjaannya. Bisa dikatakan, perbuatan tidak jujur segelintir orang telah merusak image sarjana-sarjana muda berprestasi bangsa ini.

Akan tetapi, sarjana tetaplah sarjana yang memiliki ilmu dan wawasan yang lebih baik dari kebanyakan masyarakat biasa. Oleh karena itu, sarjana tidak boleh patah arang, sarjana sejati harus mampu membuktikan bahwa ia bisa memberi manfaat bagi bangsa ini. Jangan sampai sarjana jadi penganggur, karena pengangguran adalah masalah di negeri ini. Sarjana adalah titel keilmuan yang harus memberi manfaat, bukan malah menjadi bagian dari masalah dalam masyarakat.