Oleh : Jauharil Ulya
A. PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Allah
SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari
keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat
berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin antara lelaki dan
perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah dalam berbagai
ayat dalam Al Quran. Antara lain seperti;
a)
Ayat 1 Surah An-Nisa
"Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu".
b)
Ayat 13 Surah Al-Hujurat:
"Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal".
c)
Ayat 45 Surah An-Najm:
"Dan
bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita[1]."
Menurut ayat
diatas dan ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan
perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai lelaki atau perempuan.
Namun
sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang
sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam statistik belum pernah
diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Berbeda dengan jumlah
lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, seperti informasi bahwa jumlah
penduduk Indonesia 43% lelaki dan 57% adalah kaum perempuan[2].
Mereka
itu adalah makhluk Allah yang disebut khuntsa. Mereka sepertinya belum
mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan
berjuang mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh
hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu
kepertingan atau tujuan sesaat.
Mengingat
semakin maraknya wacana tentang khuntsa sekarang ini, kiranya perlu penelitian
khusus mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan khuntsa termasuk status
hukum dan solusinya khususnya dalam hal kewarisan.
Mengenai
kewarisan khuntsa, para ulama telah telah membahas ini dalam kitab–kitab fikih.
Mazhab–mazhab fikih seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah
masing-masing memiliki perhitungan sendiri dalam hal kewarisan Khuntsa ini.
Dalam
hal menentukan identitas kelamin khuntsa, para imam mazhab memiliki cara dan
pandangan yang sama dalam menentukan kecenderungan ciri-ciri fisik seorang
khuntsa. Akan tetapi jika orang tersebut termasuk dalam khuntsa musykil (sulit
ditentukan kecenderungannya pada laki-laki atau perempuan), ulama berbeda
pendapat mengenai bagian harta waris yang akan diterima oleh khuntsa tersebut.
Inilah beberapa hal yang akan dibahas nanti dalan tulisan ini.
Penulis
tertarik untuk meneliti hal ini juga agar fenomena merajalelanya waria di
masyarakat belakangan ini tidak mengaburkan pengertian istilah khuntsa
sebagaimana yang dimaksud oleh fikih Islam. Tidak semua waria-waria yang ada di
masyarakat kita adalah khuntsa, sebagian mereka adalah orang-orang yang
berkelakuan dan berpenampilan yang tidak sesuai dengan identitas kelamin
mereka. Misalnya secara biologis mereka adalah murni laki-laki akan tetapi
sengaja bertingkah seperti perempuan untuk kepentingan ekonomi, maupun
disebabkan karena faktor psikologis dimana perasaannya didominasi oleh naluri
perempuan.
Untuk mendapatkan
pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang pelbagai permasalahan di atas,
maka penulis berinisiatif untuk meneliti salah satu aspek hukum yang berkaitan
dengan khuntsa berkenaan dengan bagian harta waris bagi Khuntsa.
1.
Apakah yang dimaksud dengan Khuntsa?
2.
Bagaimana cara menentukan identitas gender Khuntsa?
3.
Berapakah bagian
waris Khuntsa menurut para Fuqaha?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Khuntsa
Khuntsa
menurut kamus Al Munawir berasal dari kata خنٍث
– خنثاًً yang berarti
lemah, lunak, atau bertingkah laku seperti perempuan[3].
Khuntsa menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang
yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita
(farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya"[4].
Imam An
Nawawi dalam Al Muhadzab menjelaskan bahwa Khuntsa itu ada 2 (dua) macam, yaitu
orang yang baginya (2) dua alat kelamin (kelamin lelaki dan kelamin perempuan)
dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi baginya lubang
(serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang keluar
seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya[5].
Secara
medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada bagian luar
tidak sama dengan bagian dalam ; misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah
perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan memiliki
penis atau memiliki keduanya ( penis dan vagina), ada juga yang memiliki
kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya.
Bahkan ada yang tidak memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu
tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lubang vagina dan hanya lubang
kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis[6].
Dr. Yasin
Ahmad Ibrahim Daradikah dalam kitabnya Al Waris fis Syariatil Islamiyah,
menjelaskan bahwa oleh karena keadaannya seperti diatas, maka urusan statusnya
juga menjadi samar tidak jelas apakah lelaki atau perempuan. Karena pada
asalnya jenis manusia itu lelaki atau perempuan. Dan masing-masing mempunyai
hak dan kewajiban hukum sendiri-sendiri. Yang membedakan ia lelaki perempuan
adalah alat kelamin. Bagaimana halnya bila ia mempunyai dua alat kelamin
bersamaan atau tidak ada sama sekali. Disitulah letak kemusykilannya. Namun hal
tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat fungsi alat
kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai dewasa tetap
musykil.
2. Kewarisan Khuntsa
Ulama
farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa,
menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri
dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa
musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari
anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.
Oleh
sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan
mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti
perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelalki.
Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali,
meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah
seperti lelaki.
Cara
menentukan status khuntsa lelaki atau perempuan dapat dilihat dari alat
kencingnya (mabal),. Penemuan cara oleh amir bin Adi Dharahal Al Jahilly ini
ternyata diberlakukan juga oleh Islam, sebagaimana hadis danAtsar dibawah ini :
- Hadits riwayat Baihaqi dari Al Kalaby dari Abi Saleh dai Ibnu Abbas berkara :
Nabi
pernah ditanya cara kewarisan seseorang yang baginya alat kelamin lelaki dan
alat kelamin perempuan, nabi menjawab : ia mewarisi dari jalan / caranya ia
kencing.
- Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa nabi pernah ditanya kaum tentang seseorang khuntsa dari Ansor, nabi menjawab kepada mereka :
tetapkanlah
kewarisannya dari alat mana lebih dulu air kencing keluar.
- Diceritakan dari Ali, Jabil bin Zaid, Qatadah, Said bin Al Musayab bahwa nabi menetapkan kewarisan banci dari caranya ia kencing.
- Said bin Mansur menjelaskan dalam sunannya bercerita kepda Hasyim dari Mughira dari Asy Syaiby dari Ali r.a.berkata :
Muawiyah
pernah berkirim surat
kepadaku dan menanyakan status hukum khuntsa, maka kubalas suratnya : Ia
mewarisi berdasarkan cara ia kencing.
Menurut
Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara / jalan
kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak para fuqaha dan juga
faradliyun. Hal ini sebagaimana pendapat Ali R.A yang dikutip oleh Imam Nawawi
dalam kitabnya Al Muhadzzab:
عن علي كرم الله وجهه أنه قال : يورث الخنثى من حيث يبول
"Diriwayatkan
dari Ali bahwa ia berkata: kewarisan Khuntsa berdasarkan bagaimana ia
kencing".[7]
Bila
orang banci telah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau
perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala
hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan
sebagainya. Dalam hal yang sudah jelas ini sebaiknya dimohonkan putusan.
Pengadilan
tentang status hukumnya lelaki atau perempuan agar ada kepastian hukumnya dan
menghindari sifat mendua dalam pergaulan dan jenis kelamin yang sudah jelas ini
kemudian ditegaskan dalam kartu identitas seperti KTP, SIM, ATM, dsb.
Jadi
pada prinsipnya tidak sulit menentukan bagian warisan yang harus diterima oleh
khuntsa ghoiru musykil, karena akan ditentukan oleh jenis kelamin atau ciri-cirinya
yang dominan, jika yang dominant adalah laki-laki, maka ia mendapat bagian
warisan sama seperti lelaki yang lain, demikian juga sebaliknya. Jadi status
kewarisannya dengan berpedoman pada indikasi fisik bukan kepada jiwa, sepanjang
cara tersebut tidak sulit dilakukan.
Bila
banci itu sebagai khuntsa musykil maka para ulama berbeda pendapatnya tentang
hukum kewarisannya. Pendapat tersebut pada garis besarnya ada 3 ( tiga) macam,
sebagai berikut :
- Khuntsa mendapat bagian yang terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari dua perkiraan tersebut diatas ;
Demikian
ini pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Abu Yusuf dalam salah satu
pendapatnya ;.
- Khuntsa mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan).
Demikian
pendapat ulama Syafiiyah, Abu Dawud, Abu Tsaur dan Ibnu Janir Ath Thobary.
- Khuntsa mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan dan demikian juga ahli waris lainnya;
Demikian
pendapat ulama Malikiyah, ulama Zaidiyah dan Syiah Imamiyah dalam satu
pendapatnya.
- Bagi golongan Hanabilah, jika keadaan khuntsa ada harapan untuk menjadi jelas di kemudian hari maka mereka berpendapat seperti pendapat golongan Syafiiyah, tapi jika tidak ada harapan terjadi perubahan pada keadaan khuntsa, maka mereka berpendapat seperti pendapat golongan Malikiyah[8].
Pendapat
pendapat tersebut diatas pada dasarnya hampir ada persamaannya dalam teknis / tahapan
pembagian sebagai berikut ;
- Pembagian harta waris hendaknya ditahan dulu sampai persoalan khuntsa menjadi jelas;
- Setiap ahli waris, termasuk khuntsa diberikan bagian yang telah meyakinkan, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai persoalan khuntsa menjadi jelas. Bila persoalan khuntsa jelas, penerimaan semua ahli waris disempurnakan dengan menambahkan bagian kepada mereka yang berkurang menurut penerimaan yang seharusnya mereka terima.
- Bila sampai waktu cukup tapi status khuntsa belum jelas maka semua ahli waris mengadakan perundingan damai (islah) untuk saling memberikan terhadap sisa yang ditahan. Sebab tanpa perundingan tidak ada jalan /cara yang dapat mengesahkan/ menghalalkan. Dan perundingan semacam ini adalah boleh/ sah, kendatipun menurut syarat hibah itu harus diketahuinya secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan kebutuhan atau dlararat.
- Bila khuntsa diperkirakan dengan salah satu perkiraan menjadi terhalang, maka khuntsa itu dilarang menerima warisan ( mahrum /mahjub). Dan bila salah satu ahli waris terhalang oleh perkiraan khuntsa lelaki atau perempuan, maka khuntsa tetap terhalang.
3. Cara Menghitung
bagian Khuntsa.
Untuk
mengetahui hal diatas dibawah ini beberapa contoh yang sekiranya dapat menambah
pemahaman uraian diatas :
1.
Seorang mati meninggalkan anak laki dan anak khuntsa.
a. Khuntsa
diperkirakan lelaki; b. Khuntsa
diperkirakan perempuan
Asal masalah (AM) = 2 Asal Masalah = 3
Anak laki 1 Anak laki 2
Khuntsa 1 Khuntsa 1
Karena kedua
masalah ini belum sama besarnya, maka harus dicari asal masalah yang dapat
mencakup kedua-duanya yang disebut asal masalah Jamiah (gabungan) hingga nilai
dari kedua perkiraan itu sama. Untuk mencari asal masalah jamiah itu harus
dilihat lagi ketentuan Tamatsul (beberapa suku bilangan yang bersamaan maqaam),
Tabayun (dua angka yang berlebih kurang tapi keduanya tidak bisa habis dan
harus dikalikan ), Tawafuq ( usaha menyamakan dua angka yang berlebih kurang), danTadakhal
memasukkan bilangan kecil pada bilangan yang besar agar ada persamaan. Karena
disini ada 2 dua asal masalah yakni 2 dan 3 tabayun, maka asal masalah Jamiah
adalah 6 sebagai perkalian 2 x 3 = 6 jelasnya sebagai berikut :
a.
Khuntsa
diperkirakan laki-laki.
Asal masalah = 2 x 3 = 6 (AM Jamiah) Bagiannya
Anak laki
1 x 3 = 3 3
Khuntsa
1 x 3 = 3 3
b.
Khuntsa
diperkirakan perempuan.
Asal masalah = 3 x 2 = 6 (AM Jamiah) Bagiannya
Anak laki 2 x 2 =
4 4
Khuntsa 1 x 2 = 2 2
Dengan
demikian dalam perkiraan laki-laki, anak laki mendapat 3 dan Khuntsa mendapat
3, dan dalam perkiraan perempuan, anak laki mendapat 4 dan Khuntsa mendapat 2.
Jadi bagian yang diberikan kepada ahli waris menurut pendapat-pendapat di atas
adalah sebagai berikut :
1. Hanafiah 2. Syafiiyah 3. Malikiyah
Anak laki = 4 Anak
laki = 3 Anak laki =
(3+4) / 2 = 3,5
Khuntsa =
2 Khuntsa = 2 Khuntsa = (3+2) / 2 = 2,5
6 5 6
Pas tidak ada sisa Sisa 1 ditahan Pas tidak ada sisa
4. Operasi kelamin
untuk kemaslahatan umum
Pada
prinsifnya Allah Swt menciptakan manusia hanya 2 dua jenis kelamin, yakni
lelaki dan perempuan. Karena itu Allah menjelaskan hukum perkawinan dan hukum
kewarisan orang lelaki dan perempuan sejelas-jelasnya didalam ayat al Quran
maupun hadits, keberadaan orang banci atau khuntsa adalah juga ciptaan Allah
yang tidak sia-sia dan pasti ada hikmanya, dan baru sedikit yang bisa
diungkapkan
Tidak
seorang pun didunia ini yang menginginkan hidupnya sedih menderita tidak
sejahtera bahagia, baik lelaki maupun perempuan, dan termasuk khuntsa yang
keadaannya tentunya tidak dikehendaki olehnya. Demikian juga kedudukannya
sebagai mahkluk sosial dan dimuka hukum adalah sama yakni lelaki atau
perempuan.
Untuk
menghindari kevakuman hukum ini para sarjana hukum Islam (Ulama) berusaha dan
berijtihad untuk mengatasi hukumnya. Ijtihad mereka bertitik tolak kepada
ketentuan yang ada yaitu dengan mengidentikannya dengan lelaki atau perempuan,
dengan cara :
- Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing.
- Meneliti tanda kedewasaannya, seperti cirri-ciri yang spesifik bagi orang lelaki dan atau cirri-ciri yang spesifik bagi perempuan.
Bila
dengan 2 (dua) cara seperti diatas tidak bisa jelas, maka ia disebut munsykil.
Ini berarti munsykil juga status hukumnya.
Dengan
demikian timbul pertanyaan bagaimana usaha dan cara yang baik agar kehidupan
damai tenang, dan jelas hukumnya, bahwa khuntsa itu lelaki atau perempuan dan
pergaulan hidupnya juga jelas, hukumnya jelas perkerjaan dan profesinya jelas
dan hak kewajiban juga jelas.
Dalam
hal seperti ini, maka alternatif lain seperti operasi kelamin patut
dipertimbangkan untuk kemaslahatan umat, yakni untuk khuntsa itu sendiri,
keluarganya dan masyarakat serta bangsanya, dan ini lebih baik dari pada
membiarkan keadaanya seperti sekarang ini, yang tidak jelas statusnya sehingga
dalam pergaulan mereka disiang hari kadang berbeda dengan dimalam hari dan cara
berpakaian serta berhias yang selalu berpindah dari laki keperempuan dan atau
sebaliknya, yang hal semacam ini dibenci Allah dan RasulNya, sebagaimana Nabi
sabda. Artinya : Allah mengutuk orang lelaki yang bertingkah laku seperti
perempuan dan mengutuk perempuan yang bertingkah laki seperti lelaki H.R.
Ahmad.
Kaidah
hukum menjelaskan bahwa boleh tidaknya sesuatu hal tergantung juga pada besar
kecilnya nafsadah atau maslahah yang ada. Bila operasi kelamin (contoh)
ternyata lebih besar membawa kebaikan (manfaat) dari pada madharatnya
(keburukan) seperti tentang kejiwaannya, agamanya, sosial kemasyarakatannya,
jati dirinya dan kehormatan dirinya, maka dalam hal ini operasi kelamin boleh
hukumnya, dan demikian sebaliknya, bila ternyata operasi kelamin akan membawa
dampak negative yang besar dari pada keadaannya sekarang, maka operasi kelamin
dilarang hukumnya.
Oleh
karena masalah operasi kelamin itu adalah masalah kedokteran maka untuk hal ini
harus didengar pendapat ahli kedokteran tentang operasi kelamin.
Operasi
kelamin adalah tindakan perbaikan atau penyempurnaan kelamin seseorang karena
terjadinya kelainan sejak lahir atau karena penggantian jenis kelamin. Dalam
dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
- Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;
- Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.;
- Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)[9].
Permasalahan
penggantian kelamin yang muncul di abad modern ini belum dikenal dalam abad
klasik dan pertengahan, sehingga pembahasan hukumnya tidak dijumpai dalam kitab
kitab fiqih tempo dulu. Jenis operasi yang dijumpai dalam kitab fiqih klasik,
menurut Nuruddin Atar (guru besar hadits di Al Azhar Cairo) hanyalah pembedah
perut mayat yang semasa hidupnya tertelan uang (koin). Pembahasan operasi
kelamin baru dijumpai dalam fiqih Zaman modern sejalan dengan perkembangan dan
tehnologi.
Menanggapi
masalah operasi kelamin diatas pendapat pakar hukum Islam sebagai berikut :
Hasanain Muhammad Makhluf ( ahli Fiqih Mesir), operasi kelamin yang bersifat
tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) diperbolehkan secara hukum
bahkan dianjurkan jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi
untuk pembuangan air seni, baik penis maupun vagina, maka operasi untuk
memperbaiki atau menyempurnakannya menjadi kelamin yang normal hukumnya boleh
dilakukan karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus
diobati.
Menurut
Prof Drs.Masyfuk Zuhdi (ahli Fiqih Indonesia) orang yang lahir dengan alat
kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan fsihis dan sosial, sehingga
biasanya tersisih dari kehidupan masyarakat normal serta mencari jalan sendiri,
seperti melacurkan diri, menjadi wanita atau melakukan homo seksual, padahal
perbuatan tersebut sangat dikutuk oleh Islam.
Untuk
menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh
dilakukan karena kaidah Fiqih. Artinya ; Menolak bahaya harus didahulukan diri
pada mengupayakan manfaat.
Maksudnya,
upaya untuk menghindari bahaya yang akan diakibatkan oleh kelainan kelamin
tersebut lebih baik dari pada mengusahakan suatu kemaslahatan, karena
menghindari atau menolak bahaya termasuk suatu kemaslahatan juga.
Jadi
apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu penis dan vagina, maka
untuk memperjelas dan mempungsikan salah satu alat kelaminnya, ia boleh
melakukan operasi untuk memiliki salah satu alat kelamin dan menghidupkan
/memfungsikan yang lainnya sesuai dengan keadaan bagian dalam kelaminnya;
Misalnya, jika seseorang mempunyai penis dan vagina, sadang pada bagian dalam
kelaminnya ada rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan utama kelamim
perempuan, maka ia boleh mengoperasikan penisnya untuk mempungsikan vaginanya,
dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai seorang perempuan, dan
demikian sebaliknya.
Hal
diatas menurut Syaikh Ahmad Syaltut (Rektor al Azhar) dianjurkan oleh syariat
Islam, karena keberadaan penis yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa
merugikan dirinya sendiri, baik dari segi hukum agama maupun dari segi
kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu operasi yang dilakukan harus sejalan dengan
keadaan bagian dalam kelamin dan tidak boleh yang berlawanan dengan bagian
dalam kelamin. Sebab operasi kelamin yang berbeda dengan bagian dalam kelamin
bukanlah Tahsin (perbaikan), tapi termasuk Taghyir atau Tabdil yakni mengubah
ciptaan Allah, dan ini dilarang karena bertentangan dengan Firman Allah ayat 30
surah al Rahman.
Operasi
perbaikan (Tashih) atau penyempurnaan (Takmil) kelamin sesuai dengan keadaan
anatomi bagian dalam kelamin pada orang yang mempunyai kelainan kelamin atau
kelamin ganda, adalah juga sesuai keputusan Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang
diadakan di Pondok Pesanteren Nurul Jadid Probolinggo tanggal 26-28 Desember
1989.
Oleh
sebab itu ulama sepakat mengharamkan seseorang baik lelaki atau perempuan yang
dilahirkan dengan alat kelamin normal yaitu lelaki yang memiliki penis dan
wanita memiliki vagina, rahim dan ovarium untuk melakukan operasi penggantian
kelamin (Tabdil atau Taghyir).
Menurut
Wahbah Az- Zuhaili (guru besar Fiqh di Universitas Damascus), jika selama ini
penentuan bagi khuntsa (waria) hak waris didasarkan atas indikasi atau
kecendrungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi
lelaki atau perempuan, maka hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas/
jelas, yakni hak warisnya diberikan sama seperti hak lelaki atau perempuan yang
normal, tidak lagi lebih kecil dari bagian lelaki dan perempuan, dan berarti ia
boleh kawin seperti lelaki atau perempuan yang normal.
C. KESIMPULAN
Demikianlah problema hukum khuntsa
yang dapat dikemukakan disini dan masih banyak hal yang belum terungkap. Semoga
pembahasan yang singkat ini dapat menambah wacana keilmuan dan wawasan hukum
tentang khuntsa.
Dan satu
hal yang akhirnya bisa kita pahami bahwa setiap orang berhak menentukan
identitasnya, yakni dengan dengan memberikan pilihan pada seorang Khuntsa tentang
status hukumnya sebab dia sendirilah yang lebih tahu tentang dirinya itu apakah dekat kepada lelaki atau
lebih dekat /wajar ke perempuan. Dalam hal ini dapat meminta bantuan ahli
kedokteran, fisik, dan kejiwaan dengan tidak melupakan kelamin bagian dalam dan
diproses ditetapkan oleh hakim /pengadilan.
Hal ini
sangat membantu terkait dengan perkara-perkara hukum yang berhubungan dengannya
khususnya dalam hal kewarisan, sehingga ia bisa mendapatkan hak-haknya dengan
adil dan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang.
[1] Depatemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahnya.
[2] Drs. Dja'far Abdul
Muchit, SH, MHI., Problema Hukum Waria dan Operasi Kelamin, hal. 1.
[3] A. W. Munawwir, Kamus
Al Munawwir, hal 370.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqhu
As-Sunnah, juz 3 hal 655. (Maktabah Syamilah)
[5] Imam Nawawi, Al
Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)
[6] Dja'far Abdul Muchit,
Problema Hukum Waria dan Operasi Kelamin, hal 2
[7] Imam Nawawi, Al
Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)
[8] Wahbah Zuhaili, Fiqhul
Islam Wa Adillatuhu, juz 10 hal 529-230 (Maktabah Syamilah)
[9]ِDakwatuna. Com (Dr. Setiawan Budi Utomo-Fenomena
Transgender dan Hukum Operasi Kelamin)