Minggu, 04 Desember 2011

Kewarisan Khuntsa Menurut Hukum Islam


Oleh : Jauharil Ulya
A.     PENDAHULUAN
Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah dalam berbagai ayat dalam Al Quran. Antara lain seperti;

a)      Ayat 1 Surah An-Nisa
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu".

b)      Ayat 13 Surah Al-Hujurat:
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".

c)      Ayat 45 Surah An-Najm:
"Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita[1]."

Menurut ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai lelaki atau perempuan.
Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin sejuta satu karena dalam statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, seperti informasi bahwa jumlah penduduk Indonesia 43% lelaki dan 57% adalah kaum perempuan[2].
Mereka itu adalah makhluk Allah yang disebut khuntsa. Mereka sepertinya belum mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan berjuang mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu kepertingan atau tujuan sesaat.
Mengingat semakin maraknya wacana tentang khuntsa sekarang ini, kiranya perlu penelitian khusus mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan khuntsa termasuk status hukum dan solusinya khususnya dalam hal kewarisan.
Mengenai kewarisan khuntsa, para ulama telah telah membahas ini dalam kitab–kitab fikih. Mazhab–mazhab fikih seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah masing-masing memiliki perhitungan sendiri dalam hal kewarisan Khuntsa ini.
Dalam hal menentukan identitas kelamin khuntsa, para imam mazhab memiliki cara dan pandangan yang sama dalam menentukan kecenderungan ciri-ciri fisik seorang khuntsa. Akan tetapi jika orang tersebut termasuk dalam khuntsa musykil (sulit ditentukan kecenderungannya pada laki-laki atau perempuan), ulama berbeda pendapat mengenai bagian harta waris yang akan diterima oleh khuntsa tersebut. Inilah beberapa hal yang akan dibahas nanti dalan tulisan ini.
Penulis tertarik untuk meneliti hal ini juga agar fenomena merajalelanya waria di masyarakat belakangan ini tidak mengaburkan pengertian istilah khuntsa sebagaimana yang dimaksud oleh fikih Islam. Tidak semua waria-waria yang ada di masyarakat kita adalah khuntsa, sebagian mereka adalah orang-orang yang berkelakuan dan berpenampilan yang tidak sesuai dengan identitas kelamin mereka. Misalnya secara biologis mereka adalah murni laki-laki akan tetapi sengaja bertingkah seperti perempuan untuk kepentingan ekonomi, maupun disebabkan karena faktor psikologis dimana perasaannya didominasi oleh naluri perempuan.
Untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang pelbagai permasalahan di atas, maka penulis berinisiatif untuk meneliti salah satu aspek hukum yang berkaitan dengan khuntsa berkenaan dengan bagian harta waris bagi Khuntsa.
Ada 3 (tiga) pertanyaan penting yang akan dibahas dalam penelitian ini:
1.      Apakah yang dimaksud dengan Khuntsa?
2.      Bagaimana cara menentukan identitas gender Khuntsa?
3.       Berapakah bagian waris Khuntsa menurut para Fuqaha?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Khuntsa
Khuntsa menurut kamus Al Munawir berasal dari kata خنٍث – خنثاًً yang berarti lemah, lunak, atau bertingkah laku seperti perempuan[3].
Khuntsa  menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya"[4].
Imam An Nawawi dalam Al Muhadzab menjelaskan bahwa Khuntsa itu ada 2 (dua) macam, yaitu orang yang baginya (2) dua alat kelamin (kelamin lelaki dan kelamin perempuan) dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi baginya lubang (serupa vagina/farji) yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan lain sebagainya[5].
Secara medis jenis kelamin seorang khuntsa dapat dibuktikan bahwa pada bagian luar tidak sama dengan bagian dalam ; misalnya jenis kelamin bagian dalam adalah perempuan dan ada rahim, tetapi pada bagian luar berkelamin lelaki dan memiliki penis atau memiliki keduanya ( penis dan vagina), ada juga yang memiliki kelamin bagian dalam lelaki, namun dibagian luar memiliki vagina atau keduanya. Bahkan ada yang tidak memiliki alat kelamin sama sekali, artinya seseorang itu tampak seperti perempuan tetapi tidak mempunyai lubang vagina dan hanya lubang kencing atau tampak seperti lelaki tapi tidak memiliki penis[6].
Dr. Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah dalam kitabnya Al Waris fis Syariatil Islamiyah, menjelaskan bahwa oleh karena keadaannya seperti diatas, maka urusan statusnya juga menjadi samar tidak jelas apakah lelaki atau perempuan. Karena pada asalnya jenis manusia itu lelaki atau perempuan. Dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban hukum sendiri-sendiri. Yang membedakan ia lelaki perempuan adalah alat kelamin. Bagaimana halnya bila ia mempunyai dua alat kelamin bersamaan atau tidak ada sama sekali. Disitulah letak kemusykilannya. Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai dewasa tetap musykil.


2. Kewarisan Khuntsa
Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.
Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah seperti lelaki.
Cara menentukan status khuntsa lelaki atau perempuan dapat dilihat dari alat kencingnya (mabal),. Penemuan cara oleh amir bin Adi Dharahal Al Jahilly ini ternyata diberlakukan juga oleh Islam, sebagaimana hadis danAtsar dibawah ini :
  1. Hadits riwayat Baihaqi dari Al Kalaby dari Abi Saleh dai Ibnu Abbas berkara :
Nabi pernah ditanya cara kewarisan seseorang yang baginya alat kelamin lelaki dan alat kelamin perempuan, nabi menjawab : ia mewarisi dari jalan / caranya ia kencing.
  1. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa nabi pernah ditanya kaum tentang seseorang khuntsa dari Ansor, nabi menjawab kepada mereka :
tetapkanlah kewarisannya dari alat mana lebih dulu air kencing keluar.
  1. Diceritakan dari Ali, Jabil bin Zaid, Qatadah, Said bin Al Musayab bahwa nabi menetapkan kewarisan banci dari caranya ia kencing.
  2. Said bin Mansur menjelaskan dalam sunannya bercerita kepda Hasyim dari Mughira dari Asy Syaiby dari Ali r.a.berkata :
Muawiyah pernah berkirim surat kepadaku dan menanyakan status hukum khuntsa, maka kubalas suratnya : Ia mewarisi berdasarkan cara ia kencing.

Menurut Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara / jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak para fuqaha dan juga faradliyun. Hal ini sebagaimana pendapat Ali R.A yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Muhadzzab:
عن علي كرم الله وجهه أنه قال : يورث الخنثى من حيث يبول
"Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata: kewarisan Khuntsa berdasarkan bagaimana ia kencing".[7]
Bila orang banci telah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan sebagainya. Dalam hal yang sudah jelas ini sebaiknya dimohonkan putusan.
Pengadilan tentang status hukumnya lelaki atau perempuan agar ada kepastian hukumnya dan menghindari sifat mendua dalam pergaulan dan jenis kelamin yang sudah jelas ini kemudian ditegaskan dalam kartu identitas seperti KTP, SIM, ATM, dsb.
Jadi pada prinsipnya tidak sulit menentukan bagian warisan yang harus diterima oleh khuntsa ghoiru musykil, karena akan ditentukan oleh jenis kelamin atau ciri-cirinya yang dominan, jika yang dominant adalah laki-laki, maka ia mendapat bagian warisan sama seperti lelaki yang lain, demikian juga sebaliknya. Jadi status kewarisannya dengan berpedoman pada indikasi fisik bukan kepada jiwa, sepanjang cara tersebut tidak sulit dilakukan.
Bila banci itu sebagai khuntsa musykil maka para ulama berbeda pendapatnya tentang hukum kewarisannya. Pendapat tersebut pada garis besarnya ada 3 ( tiga) macam, sebagai berikut :
  1. Khuntsa mendapat bagian yang terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari dua perkiraan tersebut diatas ;
Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya ;.
  1. Khuntsa mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan).
Demikian pendapat ulama Syafiiyah, Abu Dawud, Abu Tsaur dan Ibnu Janir Ath Thobary.
  1. Khuntsa mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan dan demikian juga ahli waris lainnya;
Demikian pendapat ulama Malikiyah, ulama Zaidiyah dan Syiah Imamiyah dalam satu pendapatnya.
  1. Bagi golongan Hanabilah, jika keadaan khuntsa ada harapan untuk menjadi jelas di kemudian hari maka mereka berpendapat seperti pendapat golongan Syafiiyah, tapi jika tidak ada harapan terjadi perubahan pada keadaan khuntsa, maka mereka berpendapat seperti pendapat golongan Malikiyah[8].

Pendapat pendapat tersebut diatas pada dasarnya hampir ada persamaannya dalam teknis / tahapan pembagian sebagai berikut ;  
  1. Pembagian harta waris hendaknya ditahan dulu sampai persoalan khuntsa menjadi jelas;
  2. Setiap ahli waris, termasuk khuntsa diberikan bagian yang telah meyakinkan, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai persoalan khuntsa menjadi jelas. Bila persoalan khuntsa jelas, penerimaan semua ahli waris disempurnakan dengan menambahkan bagian kepada mereka yang berkurang menurut penerimaan yang seharusnya mereka terima.
  3. Bila sampai waktu cukup tapi status khuntsa belum jelas maka semua ahli waris mengadakan perundingan damai (islah) untuk saling memberikan terhadap sisa yang ditahan. Sebab tanpa perundingan tidak ada jalan /cara yang dapat mengesahkan/ menghalalkan. Dan perundingan semacam ini adalah boleh/ sah, kendatipun menurut syarat hibah itu harus diketahuinya secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan kebutuhan atau dlararat.
  4. Bila khuntsa diperkirakan dengan salah satu perkiraan menjadi terhalang, maka khuntsa itu dilarang menerima warisan ( mahrum /mahjub). Dan bila salah satu ahli waris terhalang oleh perkiraan khuntsa lelaki atau perempuan, maka khuntsa tetap terhalang.

3. Cara Menghitung bagian Khuntsa.
Para ulama sepakat dalam cara menghitung bagian khuntsa yakni dengan memperhatikan dan menghitung sebagai orang lelaki dan kemudian sebagai perempuan. Tapi mereka berbeda pendapat dalam menerimakan bagian khuntsa setelah diketahui hasil dari kedua perkiraan tersebut dan juga mengenai bagian ahli waris.
Untuk mengetahui hal diatas dibawah ini beberapa contoh yang sekiranya dapat menambah pemahaman uraian diatas :
1.      Seorang mati meninggalkan anak laki dan anak khuntsa.
a. Khuntsa diperkirakan lelaki;        b. Khuntsa diperkirakan perempuan
Asal masalah (AM) = 2                        Asal Masalah =            3
Anak laki                      1                      Anak laki                      2         
Khuntsa                        1                                  Khuntsa            1

Karena kedua masalah ini belum sama besarnya, maka harus dicari asal masalah yang dapat mencakup kedua-duanya yang disebut asal masalah Jamiah (gabungan) hingga nilai dari kedua perkiraan itu sama. Untuk mencari asal masalah jamiah itu harus dilihat lagi ketentuan Tamatsul (beberapa suku bilangan yang bersamaan maqaam), Tabayun (dua angka yang berlebih kurang tapi keduanya tidak bisa habis dan harus dikalikan ), Tawafuq ( usaha menyamakan dua angka yang berlebih kurang), danTadakhal memasukkan bilangan kecil pada bilangan yang besar agar ada persamaan. Karena disini ada 2 dua asal masalah yakni 2 dan 3 tabayun, maka asal masalah Jamiah adalah 6 sebagai perkalian 2 x 3 = 6 jelasnya sebagai berikut :
a.      Khuntsa diperkirakan laki-laki.
Asal masalah = 2 x 3    = 6 (AM Jamiah)          Bagiannya
Anak laki            1 x 3  = 3                               3
Khuntsa              1 x 3  = 3                               3
b.      Khuntsa diperkirakan perempuan.
Asal masalah = 3 x 2    = 6 (AM Jamiah)          Bagiannya
Anak laki          2 x 2    = 4                               4
Khuntsa            1 x 2    = 2                               2
           
Dengan demikian dalam perkiraan laki-laki, anak laki mendapat 3 dan Khuntsa mendapat 3, dan dalam perkiraan perempuan, anak laki mendapat 4 dan Khuntsa mendapat 2. Jadi bagian yang diberikan kepada ahli waris menurut pendapat-pendapat di atas adalah sebagai berikut :
1. Hanafiah                 2. Syafiiyah                 3. Malikiyah
Anak laki          = 4       Anak laki          = 3       Anak laki          = (3+4) / 2 = 3,5         
Khuntsa            = 2       Khuntsa            = 2       Khuntsa            = (3+2) / 2 = 2,5
                           6                                  5                                                       6
Pas tidak ada sisa         Sisa 1 ditahan                                       Pas tidak ada sisa

4. Operasi kelamin untuk kemaslahatan umum
Pada prinsifnya Allah Swt menciptakan manusia hanya 2 dua jenis kelamin, yakni lelaki dan perempuan. Karena itu Allah menjelaskan hukum perkawinan dan hukum kewarisan orang lelaki dan perempuan sejelas-jelasnya didalam ayat al Quran maupun hadits, keberadaan orang banci atau khuntsa adalah juga ciptaan Allah yang tidak sia-sia dan pasti ada hikmanya, dan baru sedikit yang bisa diungkapkan
Tidak seorang pun didunia ini yang menginginkan hidupnya sedih menderita tidak sejahtera bahagia, baik lelaki maupun perempuan, dan termasuk khuntsa yang keadaannya tentunya tidak dikehendaki olehnya. Demikian juga kedudukannya sebagai mahkluk sosial dan dimuka hukum adalah sama yakni lelaki atau perempuan.
Untuk menghindari kevakuman hukum ini para sarjana hukum Islam (Ulama) berusaha dan berijtihad untuk mengatasi hukumnya. Ijtihad mereka bertitik tolak kepada ketentuan yang ada yaitu dengan mengidentikannya dengan lelaki atau perempuan, dengan cara :
  1. Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing.
  2. Meneliti tanda kedewasaannya, seperti cirri-ciri yang spesifik bagi orang lelaki dan atau cirri-ciri yang spesifik bagi perempuan.
Bila dengan 2 (dua) cara seperti diatas tidak bisa jelas, maka ia disebut munsykil. Ini berarti munsykil juga status hukumnya.
Dengan demikian timbul pertanyaan bagaimana usaha dan cara yang baik agar kehidupan damai tenang, dan jelas hukumnya, bahwa khuntsa itu lelaki atau perempuan dan pergaulan hidupnya juga jelas, hukumnya jelas perkerjaan dan profesinya jelas dan hak kewajiban juga jelas.
Dalam hal seperti ini, maka alternatif lain seperti operasi kelamin patut dipertimbangkan untuk kemaslahatan umat, yakni untuk khuntsa itu sendiri, keluarganya dan masyarakat serta bangsanya, dan ini lebih baik dari pada membiarkan keadaanya seperti sekarang ini, yang tidak jelas statusnya sehingga dalam pergaulan mereka disiang hari kadang berbeda dengan dimalam hari dan cara berpakaian serta berhias yang selalu berpindah dari laki keperempuan dan atau sebaliknya, yang hal semacam ini dibenci Allah dan RasulNya, sebagaimana Nabi sabda. Artinya : Allah mengutuk orang lelaki yang bertingkah laku seperti perempuan dan mengutuk perempuan yang bertingkah laki seperti lelaki H.R. Ahmad.
Kaidah hukum menjelaskan bahwa boleh tidaknya sesuatu hal tergantung juga pada besar kecilnya nafsadah atau maslahah yang ada. Bila operasi kelamin (contoh) ternyata lebih besar membawa kebaikan (manfaat) dari pada madharatnya (keburukan) seperti tentang kejiwaannya, agamanya, sosial kemasyarakatannya, jati dirinya dan kehormatan dirinya, maka dalam hal ini operasi kelamin boleh hukumnya, dan demikian sebaliknya, bila ternyata operasi kelamin akan membawa dampak negative yang besar dari pada keadaannya sekarang, maka operasi kelamin dilarang hukumnya.
Oleh karena masalah operasi kelamin itu adalah masalah kedokteran maka untuk hal ini harus didengar pendapat ahli kedokteran tentang operasi kelamin.
Operasi kelamin adalah tindakan perbaikan atau penyempurnaan kelamin seseorang karena terjadinya kelainan sejak lahir atau karena penggantian jenis kelamin. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
  1. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;
  2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.;
  3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)[9].
Permasalahan penggantian kelamin yang muncul di abad modern ini belum dikenal dalam abad klasik dan pertengahan, sehingga pembahasan hukumnya tidak dijumpai dalam kitab kitab fiqih tempo dulu. Jenis operasi yang dijumpai dalam kitab fiqih klasik, menurut Nuruddin Atar (guru besar hadits di Al Azhar Cairo) hanyalah pembedah perut mayat yang semasa hidupnya tertelan uang (koin). Pembahasan operasi kelamin baru dijumpai dalam fiqih Zaman modern sejalan dengan perkembangan dan tehnologi.
Menanggapi masalah operasi kelamin diatas pendapat pakar hukum Islam sebagai berikut : Hasanain Muhammad Makhluf ( ahli Fiqih Mesir), operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) diperbolehkan secara hukum bahkan dianjurkan jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk pembuangan air seni, baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya menjadi kelamin yang normal hukumnya boleh dilakukan karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Menurut Prof Drs.Masyfuk Zuhdi (ahli Fiqih Indonesia) orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan fsihis dan sosial, sehingga biasanya tersisih dari kehidupan masyarakat normal serta mencari jalan sendiri, seperti melacurkan diri, menjadi wanita atau melakukan homo seksual, padahal perbuatan tersebut sangat dikutuk oleh Islam.
Untuk menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan karena kaidah Fiqih. Artinya ; Menolak bahaya harus didahulukan diri pada mengupayakan manfaat.
Maksudnya, upaya untuk menghindari bahaya yang akan diakibatkan oleh kelainan kelamin tersebut lebih baik dari pada mengusahakan suatu kemaslahatan, karena menghindari atau menolak bahaya termasuk suatu kemaslahatan juga.
Jadi apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu penis dan vagina, maka untuk memperjelas dan mempungsikan salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk memiliki salah satu alat kelamin dan menghidupkan /memfungsikan yang lainnya sesuai dengan keadaan bagian dalam kelaminnya; Misalnya, jika seseorang mempunyai penis dan vagina, sadang pada bagian dalam kelaminnya ada rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan utama kelamim perempuan, maka ia boleh mengoperasikan penisnya untuk mempungsikan vaginanya, dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai seorang perempuan, dan demikian sebaliknya.
Hal diatas menurut Syaikh Ahmad Syaltut (Rektor al Azhar) dianjurkan oleh syariat Islam, karena keberadaan penis yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa merugikan dirinya sendiri, baik dari segi hukum agama maupun dari segi kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu operasi yang dilakukan harus sejalan dengan keadaan bagian dalam kelamin dan tidak boleh yang berlawanan dengan bagian dalam kelamin. Sebab operasi kelamin yang berbeda dengan bagian dalam kelamin bukanlah Tahsin (perbaikan), tapi termasuk Taghyir atau Tabdil yakni mengubah ciptaan Allah, dan ini dilarang karena bertentangan dengan Firman Allah ayat 30 surah al Rahman.
Operasi perbaikan (Tashih) atau penyempurnaan (Takmil) kelamin sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin pada orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, adalah juga sesuai keputusan Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang diadakan di Pondok Pesanteren Nurul Jadid Probolinggo tanggal 26-28 Desember 1989.
Oleh sebab itu ulama sepakat mengharamkan seseorang baik lelaki atau perempuan yang dilahirkan dengan alat kelamin normal yaitu lelaki yang memiliki penis dan wanita memiliki vagina, rahim dan ovarium untuk melakukan operasi penggantian kelamin (Tabdil atau Taghyir).
Menurut Wahbah Az- Zuhaili (guru besar Fiqh di Universitas Damascus), jika selama ini penentuan bagi khuntsa (waria) hak waris didasarkan atas indikasi atau kecendrungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi lelaki atau perempuan, maka hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas/ jelas, yakni hak warisnya diberikan sama seperti hak lelaki atau perempuan yang normal, tidak lagi lebih kecil dari bagian lelaki dan perempuan, dan berarti ia boleh kawin seperti lelaki atau perempuan yang normal.

C. KESIMPULAN
Demikianlah problema hukum khuntsa yang dapat dikemukakan disini dan masih banyak hal yang belum terungkap. Semoga pembahasan yang singkat ini dapat menambah wacana keilmuan dan wawasan hukum tentang khuntsa.
Dan satu hal yang akhirnya bisa kita pahami bahwa setiap orang berhak menentukan identitasnya, yakni dengan dengan memberikan pilihan pada seorang Khuntsa tentang status hukumnya sebab dia sendirilah yang lebih tahu tentang dirinya itu apakah dekat kepada lelaki atau lebih dekat /wajar ke perempuan. Dalam hal ini dapat meminta bantuan ahli kedokteran, fisik, dan kejiwaan dengan tidak melupakan kelamin bagian dalam dan diproses ditetapkan oleh hakim /pengadilan.
Hal ini sangat membantu terkait dengan perkara-perkara hukum yang berhubungan dengannya khususnya dalam hal kewarisan, sehingga ia bisa mendapatkan hak-haknya dengan adil dan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang.


[1]  Depatemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya.
[2] Drs. Dja'far Abdul Muchit, SH, MHI., Problema Hukum Waria dan Operasi Kelamin, hal. 1.
[3]  A. W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, hal 370.
[4]  Sayyid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, juz 3 hal 655. (Maktabah Syamilah)
[5] Imam Nawawi, Al Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)

[6]  Dja'far Abdul Muchit, Problema Hukum Waria dan Operasi Kelamin, hal 2
[7]  Imam Nawawi, Al Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)
[8] Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, juz 10 hal 529-230 (Maktabah Syamilah)
[9]ِDakwatuna. Com (Dr. Setiawan Budi Utomo-Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin)